Estetika dalam Filsafat

Pengertian

Estetika disebut juga dengan filsafat keindahan (philosophy of beauty), yang berasal dari kata Yunani yaitu aisthetika atau aisthesis. Estetika sebagai bagian dari aksiologi selalu membicarakan permasalahan, pertanyaan, dan isu-isu tentang keindahan, ruang lingkupnya, nilai, pengalaman, perilaku pemikiran seniman, seni, serta persoalan estetika dan seni dalam kehidupan manusia. 

Estetika merupakan konsep yang bersifat subjektif meski manusia, pada taraf yang paling mendasar dan secara universal, memiliki perasaan yang sama terhadap apa yang membuat mereka nyaman dan senang ataupun menyakitkan dan tidak nyaman. Lingkup bahasan estetika memiliki beberapa bidang garapan. 

Diantaranya adalah estetika filsafati dan estetika ilmiah.
 
 Estetika filsafati,  acapkali disebut juga dengan filsafat keindahan (philosophy of beauty), filsafat cita rasa (philosophy of taste), filsafat seni (philosophy of art), dan filsafat kritik. 

Estetika dalam hal ini banyak membahas hakikat, akar dari ilmu seni, hasil perenungan bukan eksperimen, dan pengalaman-pengalaman lahiriah. Sedangkan filsafat ilmiah cenderung mengacu pada ilmu pengetahuan mengenai kesenian, keindahan, ataupun estetika. 

Filsafat estetika sebagai ilmu pengetahuan tentang keindahan Antara Etika, Moral.

Totok Wahyu Abadi Keindahan dalam abad ini dipandang Baumgarten sebagai kenyataan yang sebenarnya atau dapat dikatakan sebagai hakikat yang sebenarnya bersifat tetap. Karenanya, kedua tokoh modern tersebut membedakan pengetahuan menjadi dua yakni pengetahuan intelektual (intelectual knowlodge) atau pengetahuan tegas dan pengetahuan indrawi (sensuous knowledge) atau yang disebut pengetahuan kabur. Dalam buku Baumgarten yang berjudul “Aesthetica” dijelaskan bahwa pengetahuan sensuous merupakan estetika. George Wilhelm Friederich Hegel (1770-1831) dan Arthur Schopenhauer (1788-1860) menyusun tingkatan bentuk-bentuk seni. 
filsuf Amerika yang berpaham pragmatisme, menentang dualisme yang berupaya memisah-misahkan segala sesuatu yang semestinya menjadi satu kesatuan yang utuh. Seni, menurut Dewey, merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak terpisahkan dengan kehidupan sehari-hari. Sangatlah keliru bila seni terpisah dari segi-segi kehidupan lainnya. George Santayana (1863-1952), juga filsuf dari Amerika, mengembangkan estetika naturalistis. Santayana memiliki persamaan pandangan tentang subjektifitas dalam penilaian seni. Ia menolak objektivitas keindahan. Menurut Santayana, keindahan identik dengan kesenangan manusia ketika ia mengamati objek-objek tertentu. Keindahan, baginya, merupakan perasaan senang yang diobjektifkan dan diproyeksikan ke dalam objek yang diamati. Filsuf Italia, Benedetto Croce (1856-1952), mengembangan teori filsafat idealisme dalam estetika. Croce menyamakan seni dengan intuisi, dan menurutnya intuisi adalah gambar yang berada di alam pikiran. Dengan demikian, seni itu berada di alam pikiran seniman. Karya seniman dalam bentuk fisik sesungguhnya bukan seni, melainkan semata-mata alat bantu untuk menolong penciptaan kembali seni yang sebenarnya berada dalam pikiran seniman. Pada awal Abad ke-20, para filsuf berargumentasi bahwa konsep-konsep estetika berpatokan pada cita rasa kemanusian dan pertimbangan psikologis. Inilah yang kemudian menjadi titik pangkal konsep estetika yang baru.

Di dalam estetika tidak ada hukum-hukum atau aturan - aturan yang mensyaratkan adanya keindahan yang ideal. Keindahan adalah suatu hal bebas dan alamiah. Keindahan tidaklah dikonstruksikan dengan aturan dan harmonisasi yang merujuk pada halhal yang menyenang.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Armaan Malik

Akuntansi, Kas kecil ( petty cash )

DESCRIPTION ABOUT DEEPIKA PADUKONE